Pukul 08:17, embun yang terjebak di permukaan daun bergoyang-goyang. Beberapa saat kemudian goyangannya makin tak terkendali, membuat embun itu terpecah dan jatuh. Gempa mengguncang wilayah utara, juga sampai ke Pembangkit Listrik Hidrostatik Kalimurni. Kalimurni berdiri seperti mahakarya para dewa. Ia bukan sekadar reservoir melainkan baterai raksasa yang bernapas dalam irama listrik dan air. Dibangun sebagai perpanjangan dari Waduk Srini yang sudah kurang memfasilitasi kebutuhan distrik bisnis, Kalimurni adalah anak emas para politisi. Kalimurni berdiri di ketinggian 700 meter dari permukaan laut. Dia menyusui area residensial khusus pegawai di Distrik Wates Baru dan area bisnis di Arkologi Nebulangga, kota baru yang tumbuh subur dipupuk oleh mimpi memindahkan jantung bisnis Jakarta ke tengah tanah yang diselubungi mistis dan tenaga kerja murah.
Reservoir Kalimurni adalah open-loop yang murni beroperasi dengan pompa, sebuah mesin raksasa yang mengisap air dari anak-anak sungai dan waduk saat kebanyakan orang sudah membasuh kaki dan bermimpi. Ia adalah solusi dari pemerintah ketika pembangkit batu bara mulai mengantuk sebelum akhirnya sekarat dan mati. Air itu dipompa naik ke perut bukit, ke sebuah cekungan buatan seluas 200 hektar yang dikelilingi tembok beton setinggi 50 meter. Di pagi hari, ketika kantor-kantor di pusat bisnis Wates Baru mendengung dengan segala macam barang elektronik, air itu dilepas turun melalui terowongan, menggerakkan turbin yang berputar seperti jantung mekanis, menghasilkan listrik untuk menghidupi pekerja, pengusaha yang melekat bersama mesin-mesin canggih mereka. Di malam hari, Kalimurni menjelma menjadi vampir energi. Setiap tetes air yang dipompa naik sebetulnya memakan 10% lebih banyak listrik daripada yang dihasilkannya saat turun. Namun, para ekonom berbisik, "Kalimurni tetap menguntungkan." dan politisi menekankan, “Kalimurni adalah masa depan!” dan para influencer politik membebek, “Kalimurni cuma alat! #SaveKalimurni.” Siklus siang-malam ini memastikan air mengalir seperti susu ke mulut bayi raksasa, menyimpan tenaga untuk para pekerja pendatang yang esok pagi akan mengetik laporan keuangan, mendesain gambar-gambar iklan, atau sekadar duduk menikmati sore sambil menulis puisi ditemani kopi.
Tembok Kalimurni dibangun dengan kecurangan dan darah. Saat proyek dimulai tahun 2029, tentara datang dengan truk dan drone, menggusur dalam ketidakpedulian dinamit dan ekskavator, mengunyah apa saja. Bahan baku pun dicurangi. Kontraktor jahil mengakali beton untuk menekan biaya, bahkan mengurangi biaya material pembuatan pelimpah karena amat yakin dengan sensor pencegah banjir berbasis AI. Sementara AI disuapi data-data yang keliru akibat sensor level air telah bergeser beberapa meter ke bawah karena terpaan pompa. Setiap malam, komputer di Jakarta membaca angka-angka palsu. Dan probe pengaman, sistem cadangan yang dipasang di puncak dinding, ambles pelan-pelan akibat berdiri di pondasi berlumpur. Semua yang tampak aman bagi AI adalah mimpi buruk yang terjadi bermusim-musim. Batu-batu isian di balik beton bercampur limbah konstruksi mengandung tanah liat, memungkinkan karat menjalar dalam ketenangan yang hanya dimiliki pembunuh bayaran profesional, menggerogoti tulang beton, membuat Kalimurni merintih setiap kali hujan deras mengguncang bukit. Sambungan antara dinding parapet dan pelapis beton yang tidak disegel dengan bahan terbaik atas nama penghematan anggaran—hanya direkatkan oleh semen seadanya—membuat air rembes lewat celah-celah yang mungkin cuma setipis rambut, tetapi cukup bagi air untuk masuk ke dalam lambung beton, membuat isiannya larut seperti gula dalam tekanan hidrostatik. Pembangkit Listrik Hidrostatik Kalimurni, yang dibesar-besarkan sebagai mahakarya konstruksi dan pencapaian rezim akselarasionis nanggung, sejak awal sebetulnya dirancang sebagai mesin yang secara konsisten menghancurkan dirinya sendiri.
Gempa memaksa material berkualitas rendah bersikap lebih jujur. Setiap kali bumi bergetar, air bekerja dengan amat sabar. Ia tahu, di bawah kepastian hukum termodinamika, ia pasti akan menemukan jalan. Puncaknya, gempa pagi tadi. Pertama, air secara agresif mengikis tanah seperti tikus menggali lubang. Lalu, ia menguasai isian beton yang sudah melempem bak kerupuk dalam kuah soto. Lubang selebar satu milimeter menjadi sentimeter menjadi meter menjadi lima meter menjadi dua puluh meter. Dinding parapet yang kopong itu mulai goyah. Miring. Roboh.
Di rentang waktu singkat antara gempa dan proses Kalimurni menghancurkan dirinya sendiri, ada siluet bertengger di dahan pohon enam kilometer di hilir. Siluet itu bukan burung, atau monyet, atau kukang, tapi manusia.
Dia adalah Lupis.
Lupis bekerja sebagai tukang bersih-bersih barak militer saat siang dan menjadi maling spesialis barang elektronik di malam hari. Usianya 24 dan kini tubuhnya melingkari dahan pohon nangka seperti ular piton. Matanya terpejam, hidungnya mengeluarkan dengkuran kecil, tangan kanannya masih mencengkeram tas selempang hitam berisi buku catatan, peralatan lockpick dan jammer sinyal, dan tubuhnya terikat tali khusus yang dia bikin buat mencegahnya jatuh kalau ketiduran saat operasi, tapi sesaat lagi akan menyusahkannya.
Semalaman dia mengintai pos jaga tentara di seberang sungai, menunggu pergantian shift pukul 06:00. Tapi rasa lelah—dan tiga botol ciu rumahan—membuatnya tertidur di ketinggian, bahkan gempa (secara harfiah) tidak dapat membangunkannya. Teriakan di receiver bikin Lupis terjaga, tubuhnya nyaris terjungkal. Ia amat mengenal teriakan itu.
SIAGA BENCANA! BENDUNGAN RETAK. BENDUNGAN RETAK. SEKALI LAGI, BENDUNGAN RETAK! EVAKUASI SEGERA!
Dari kejauhan, pos jaga yang jadi incarannya mulai ramai. Tentara-tentara cere berlari-larian, sebagian mobil truk tancap gas ke arah pemukiman dan yang lain kocar-kacir membawa barang, ada pula yang masih memakai kolor. Tampak juga kelompok pengamanan yang lebih rapi dan disiplin, mereka berlari kecil sambil menggiring seseorang di tengahnya menuju mobil jip. Yang lain berteriak-teriak menghardik kawannya agar bergerak lebih cepat.
Di atas kepalanya, suara helikopter entah dari mana melesat. Deru helikopter itu seperti memaksa seluruh nyawa Lupis pepat di dalam tubuh kurusnya dalam waktu sepersekian detik.
"Tai! Tai! Tai!"
Dia berusaha melompat, tapi badannya masih terikat kuat di dahan. Lupis sudah terbiasa maling sampai lupa rasanya panik, tapi kali ini yang dihadapi bukan robot atau manusia. Tubuhnya dikuasai adrenalin hingga tak sempat berpikir jernih. Dia mengeluarkan pisau lipat dari tas dan berusaha memotong tali secepat yang dia bisa—padahal dia membuat sistem simpul yang bisa membatalkan seluruh ikatan sekali tarik saat situasi terdesak.
Dia berhasil lolos, tapi kulit tangannya terkoyak pisaunya sendiri. Lantas lari tunggang langgang dengan tas hitam terayun-ayun.
Bendungan berubah dari struktur statis nan kokoh menjadi orang mabuk yang limbung. Lalu, jebol. Enam miliar liter air—atau setara dua puluh miliar cangkir kopi—meluncur menuruni apa saja, mengikis tanah, mencabut akar pohon, menghancurkan struktur apa saja seolah mereka hanya kerikil. Tak sampai tiga menit berlari suara gemuruh yang memekakkan muncul seakan dari berbagai arah. Letak bendungan itu cukup jauh, tetapi getaran air yang menggerus dinding beton dan bergulung di lembah terdengar seperti pengeras suara kitar yang mengepung Lupis seakan ia sedang dijepit tembok kematian.
Dia hafal jalannya—melalui semak-semak dan himpunan alang-alang buntut kuda yang tajam dan bikin gatal-gatal, melompati parit drainase sebelum masuk ke dusun yang sudah hampir tak berbentuk diguncang gempa, orang-orang yang selamat sedang berkumpul di tempat lapang, tapi Lupis tidak berhenti. Dia malah lari lebih cepat, memanjat pagar setinggi dua meter yang sudah ia siapkan dengan barisan paku beton sebagai jalur pelarian, lalu mendarat di perumahan khusus pegawai NEBULANGGA Corp, mengikuti rangkaian pohon-pohon akasia dan menyelinap ke gorong-gorong pendek yang mengarah ke belakang rumah kosong di Jalan Berdikari No. 12.
Rumah itu milik sebuah keluarga yang sudah tidak ditempati bertahun-tahun, tapi AI-nya masih aktif, menjaga sistem keamanan dengan kesetiaan algoritmik. Saat menemukan gorong-gorong pendek itu, dan mengetahui bahwa gorong-gorong itu mengarah ke sebuah rumah tak berpenghuni, Lupis mengambil-alih rumah itu.
Lupis tiba di rubanah, agak lembab dan dipenuhi barang-barang pemilik lamanya. Di sudut, sebuah server kecil berkedip—hasil modifikasinya tiga bulan lalu. Dia telah memodifikasi sedikit sistem kamera di asisten AI rumah itu, kini AI bernama TULIP itu mengenalinya sebagai kerabat pemilik rumah. Setiap pagi, AI itu masih menyapa, Selamat pagi, Paman Aziz. Suhu ruangan 20 derajat Celsius, sementara Lupis mengendap di balik tumpukan koran, menahan tawa. Aziz adalah nama di eKTP yang dia temukan di rubanah ini. Tepatnya, Abdul Aziz Abdulazizov. Dia mengutak-atik server TULIP dan mengubah hierarki kepatuhan tanpa memblokir akses pemilik sahnya. Sejak saat itu dia dipanggil Paman Aziz, dan bisa tinggal di rumah ini tanpa dicurigai sebagai maling.
Tapi saat ini, air sudah sampai di luar. Lupis menekan tombol darurat di server, memaksa sistem pendingin berhenti menyedot udara dari luar. Layar monitor menunjukkan kamera keamanan: pohon durian roboh dan mendarat di atap rumah, jendela pecah, kursi teras melayang seperti mainan. Suhu di rubanah turun drastis. Lupis menggigil, tubuhnya meringkuk di antara server dan dinding beton, sambil mendengarkan TULIP berbicara sendiri:
Peringatan bencana dari militer. Bendungan runtuh. Buka pintu rubanah untuk evakuasi.
"Batal!" teriak Lupis. "Tidak perlu. Ini cuma uji coba sistem."
TULIP berdengung, lampu merah berkedip.
Konfirmasi: uji coba sistem. Log telah dicatat. Pintu darurat dibatalkan.
Tidak boleh ada yang tahu Lupis sembunyi di sini.
Di atas kepalanya, air mulai menggeram. Di luar, air menggarap apa saja. Tembok rumah bergetar hebat, tapi pondasinya bertahan. Sayangnya, air dan lumpur tahu cara terbaik untuk menyelinap. Mereka mendobrak pintu gorong-gorong dan pintu darurat dan dari celah mana pun yang mereka temui. Lupis berusaha membuka pintu darurat yang mengarah ke kamar utama, tetapi pintu itu terhalang sesuatu yang berat. Jadi, dia memilih berjongkok di kursi di bawah rak server yang memang letaknya lebih tinggi. Menunggu.
Tiga jam kemudian, banjir surut meninggalkan lumpur setinggi lutut di dalam rubanah. Lupis mulai mencari apa saja yang mungkin bisa membantunya keluar dari ruangan ini. Namun, kelihatannya tidak ada apapun yang cukup kuat untuk mendorong benda yang menghalangi pintu, sementara pintu gorong-gorong lebih mustahil didobrak. Pintu itu benar-benar tersumbat lumpur dan air dari luar. Lupis kembali berjongkok di kursi. Dia ingin teriak, tetapi jika itu dia lakukan mungkin yang akan membantunya keluar adalah tentara, atau Tim SAR di bawah tentara, atau Tim SAR bersama tentara. Jika militer tahu keberadaannya, dia akan dipaksa masuk kamp. Memikirkan cerita-cerita orang yang pernah masuk kamp tentang bagaimana perlakuan tentara terhadap buron seperti Lupis bikin dia lebih memilih mati perlahan di dalam rubanah seperti sebatang rokok yang dilupakan pemiliknya. Lupis memutuskan menunggu beberapa saat, bahkan ketika ia mendengar suara perempuan yang kemungkinan besar bukan tentara. Ia hanya ingin memastikan dirinya aman.
Terdengar suara berdenging panjang dan menusuk telinga yang berasal dari rak server di atas kepalanya. Ia kaget, kepalanya menyundul rak server lalu jatuh. Dia berhasil menghindar, tapi rak itu malah mendarat di kakinya. Tepatnya, di jemari kakinya.
Lupis menjerit sekencang-kencangnya.