Pengalamanku Silaturahmi dengan Printer
Idul Fitri, OpenAI Ghibli, Automasi, Automasi dan Auotomasi
Lebaran kemarin, usai menghabiskan dua toples nastar hingga lidah keriting dan dinding mulut sariawan, aku terjebak dalam debat online tentang AI yang menjiplak gaya animasi Ghibli. Aku sejujurnya tidak pernah khawatir si “AI” ini akan mengambil alih pekerjaan manusia. Pada esaiku tahun 2022 lalu, “Mengajari Mesin Berpikir: Apakah AI akan Menggantikan Pekerja?”, aku berpikir, selama menggambar masih menyenangkan, selama itu pula aku kira AI tak perlu dianggap sebagai ancaman. Tapi, ya, jika sudah menyoal urusan perut tentu aku amat mengerti dari mana sumber energi perlawanan teman-teman ilustrator dan desainer visual itu lahir.
Kemudian, ada berita susulan. Dalam beberapa hari, pengguna ChatGPT meningkat tajam dan mereka sudah men-generate 700 juta gambar dalam pekan itu. 700 juta gambar, dan kita belum menghitung berapa listrik yang dihabiskan untuk ratusan juta gambar yang fungsinya kurang penting dan aku pikir tidak ada urgensinya seperti profile picture yang estetik. Nice.
Tapi, pada awal kemunculan isu Ghibli, ada satu komentar yang bikin gatel bulu ketekku. Seorang pengguna Twitter/X yang mem-branding diri sebagai bapak rasional dan paling STEM dengan kepercayaan diri level dewa begitu semangat mempromosikan OpenAI dan gaya Ghibli-nya. Kurang lebih, melalui statement-nya, kita bisa ambil kesimpulan secara serampangan bahwa seniman tradisional itu kolot dan AI adalah masa depan yang tak terbendung. Aku membayangkan orang ini, mungkin sambil minum kopi third wave, mengetik kalimat itu dengan jari-jari yang tak pernah pegang kuas atau sketsa. Pikiran sinisku langsung nge-gas: Kalau menurut dia AI memang segitunya, kenapa nggak dibikin gratis semua? Lucuti fitur berlangganan, biar semua orang merasakan ‘keniscayaan’ ini. Dan kalau emang (dari semua argumen pembela AI) kita udah nggak dikasih ruang untuk skeptis lagi terhadap AI hal paling masuk akal adalah membunuh inventornya dengan cara menggratiskan semua kreasinya.
Pikiran sinis itu buyar ketika papaku tiba-tiba teriak, "Printer error nih, tolong benerin!" Printer jelek itu memang masih keluargaku pakai, terutama oleh adikku, untuk mencetak keperluan dagangannya.
Sejak remaja, aku memang tergila-gila dengan mesin fax dan printer (kalau kamu penasaran dari mana nama “Brother IntelliFAX-4100e laser fax machine” di akun Instagramku berasal, aku tidak pernah ganti sejak punya akun IG). Aku terobsesi dengan mesin fax dan printer lebih karena mereka benda sehari-hari yang paling dekat dengan definisi "robot". Aku tinggal di desa di kabupaten Bogor, melihat printer di warnet bekerja bagiku seperti melihat mukjizat. Mesin tua yang suka ngambek, minta tinta mahal, tapi sangat bisa diandalkan dalam mencetak tugas sekolah sampai surat lamaran kerja.
Setiap kali membongkarnya, aku selalu kagum. Ini device paling sentient yang pernah kupegang. Kabelnya berantakan, tapi ada logika di situ—seperti tubuh makhluk hidup yang bisa dipahami.
Di tengah gesekan antara mesin dan manusia—entah itu AI yang hendak mencaplok imajinasi Ghibli atau printer tua yang merintih minta pensiun—dan saudara yang datang dan pergi selama lebaran, keponakanku yang baru melahirkan anak, dan orang yang cosplay Iron Man di depan pertigaan Cibinong City Mall di hari lebaran bikin kepalaku ngga bisa berhenti memikirkan soal "definisi hidup".
Printer di tanganku, dengan segala kebodohannya, lebih hidup bagiku ketimbang AI yang katanya revolusioner. Tapi di sisi lain, bukankah kita juga terus menggeser patok "kehidupan"? Dulu, robot cuma mesin dan dalam waktu yang akan datang mungkin ada yang berargumen AI punya agency.
Persis seperti debat Ghibli vs AI:, batas antara "karya manusia" dan "karya mesin" makin kabur. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, ada pertanyaan yang lebih memusingkan, kapankah kita akan mengakui bahwa "kehidupan" bukan cuma soal DNA atau daging, tapi juga tentang relasi—seperti printer yang jadi saksi tumbuh dewasa, atau algoritma yang dalam banyak scifi keren merindukan pengakuan?
Upaya kita mendefinisikan ulang "kehidupan" bersifat terus-menerus, dan selalu post-facto, mungkin cuma bukti bahwa mendefinisikan kehidupan itu sendiri adalah proyeksi subjektivitas manusia. Semacam antroposentrisme yang tak sadar diri.
Lihat saja, kita menggeser patok gawang tiap kali ilmu pengetahuan menemukan hal baru. Dulu, saat mikroorganisme ketahuan, batas "hidup" digeser. Lalu virus dan viroid ditemukan, patoknya dipindah lagi.
Hewan-hewan pun, dalam keseharian, kita pakai definisi yang pragmatis banget, "hidup itu sesuatu yang punya qualia", yang bisa merasa atau dirasa, memiliki jiwa (atau kita pikir demikian)—seperti semak-semak, tupai, atau seorang teman. Ini berguna untuk membedakan mereka dari batu kerikil, kue putri salju, atau motor Astrea. Definisi ini make sense, praktis, tapi ya... sifatnya cuma heuristik. Sekadar pegangan kasar.
Nah, persoalan muncul ketika kita ingin merumuskan definisi fisik yang rigid. Ada ketegangan—atau mungkin kekacauan—saat objektivitas dipaksakan pada sesuatu yang dasarnya subjektif. Dan kini, diam-diam, kita mungkin sedang menggeser patok gawang lagi, mengabaikan kemungkinan kehidupan digital. Sebuah sikap yang, kurasa, akan kita sesali kelak.
Ngomong-ngomong, di sisi berseberangan dari argumen ini, ada pendapat bahwa subjek nggak bisa mendefinisikan bentuk kehidupannya sendiri. Bagaimana dengan batas kebenaran intersubjektif, sementara pengalaman privat tiap makhluk mungkin tak terukur? Nah, menariknya, dengan argumen ini kita bisa memaknai persoalan ini lewat kacamata "mesin tak bisa menjiplak dirinya sendiri" atau sebagai perluasan dari pengakuan akan "diri" dalam "liyan".
Iya, memang sudah dari dulu, filsafat berkutat pada soal pengenalan diri yang subjektif dan konsep "liyan" ini. Dan kurasa, itu relevan di sini dan saat ini. Liyan itu jadi sekaligus batas (karena sebagai makhluk lain, "kamu" jelas bukan "aku") dan prasyarat komunitas (karena untuk setara, "aku" butuh "kau" mengakui diriku sebagai sesama).
Logika ini, rasanya, berlaku juga untuk kehidupan digital/robot. Seberapapun "asing"-nya mereka, sama seperti kita memandang manusia lain—atau hewan—sebagai entitas yang punya hakikatnya sendiri.
Tapi ya, dalam praktiknya, garis pemisah sosiopolitik antara yang dianggap "dalam" atau "luar" komunitas pasti akan kabur. Selalu ada ruang untuk negosiasi—atau tarik-ulur kepentingan. Jadi, pertanyaannya: kapan kita mulai menganggap mesin sebagai "liyan" yang setara? Atau jangan-jangan, kita justru takut kehilangan monopoli atas definisi "kita"?
Hari ini, aku kembali ke rumah sempitku. Labu, kucing putih yang sudah 6 tahun jadi sahabatku, tidur pulas di dalam kardus Gunpla bekas. Makhluk hidup yang organik memilih sarang dari produk budaya manusia yang plastik. Ironi. Tapi di situlah keindahannya. Labu tak peduli apakah dia "liyan" atau bukan, baginya kardus itu rumah, dan aku adalah bagian dari pack-nya. Wkwk.
Aku memang tidak mahir berteman dengan manusia, lebih karena aku jerk aja—dengan meminimalisir pertemanan dengan manusia aku pikir, aku sudah mereduksi kemungkinan untuk melukai orang lain. Dulu sekali, aku selalu percaya aku bisa hidup sendiri dan self-sufficient. Tapi, Donna Haraway bilang, kita tak pernah benar-benar self-sufficient, dan semakin ke sini aku semakin mengakui itu. Kita selalu becoming-with—entah dengan kucing, printer reyot, atau laptop yang kipasnya sering kemasukan bulu kucing. Tapi yang sering dilupakan, becoming-with butuh etika. Bukan sekadar toleransi, tapi pengakuan bahwa liyan punya hak untuk exist tanpa harus jadi kita.
Maka, untuk teman-teman ilustrator yang gigih melindungi karyanya dari mesin, perlawanan kalian bukan sekadar soal hak cipta. Ini soal menjaga kemungkinan untuk berelasi—bahwa goresan tangan, noda tinta, bahkan glitch di gambar digital, adalah jejak tubuh yang hidup. Di sana berbaring riwayat, identitas dan kerja keras manusia dalam mengekspresikan diri, sejelek apapun gambar kamu. Sesuatu yang tak bisa direduksi jadi prompt atau data training.
Mungkin suatu hari yang jauh nanti, AI akan menuntut kita akui sebagai liyan. Dia menjadi sangat superior seperti yang dibayangkan pendukungnya hari ini. Tapi hari ini, saat ini, yang perlu kita lakukan sederhana dan strategis, seperti membentuk serikat seniman, menjaga simpul-simpul kecil, dan ingat bahwa progress tak harus berarti meninggalkan yang rapuh.
Tetap menggambar, tetap melakukan hal yang membuat kamu bahagia, tetap memelihara kucing, dan jangan lupa servis printer lama.