------------....
--------........
----HELLO-WORLD.
--------........
------------....
Aku selalu membayangkan perkelahian di bar seperti di film-film Barat. Sebuah dunia yang amat maskulin--kau bahkan bisa mendengar keringat mereka menjerit, "Aku laki-laki! Aku laki-laki!" setiap kali keluar dari pori-pori mereka--di mana kadar alkohol yang mengapung di kepala tiap orang dewasa lekas menyulut api dalam perdebatan kecil tentang apa saja, lalu terjadi perkelahian. Tetapi rupanya imajinasiku terlalu cetek.
Setelah tiga tahun berhenti mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak, karena lambung mulai nggak kuat, aku jadi lebih sering menemani orang mabuk. Racauan mereka tentu beragam dan aku udah nggak ingat apa saja yang mereka bicarakan, tetapi yang menarik perhatianku curhatan tentang pekerjaan selalu nyelip. Kadang topik pekerjaan nyelip dalam satu-dua kalimat, seringnya topik itu segera merebut spot utama. Dan ketika membicarakan pekerjaan, mendadak semua orang punya sesuatu buat disampaikan.
Aku nggak pernah membayangkan beberapa orang mabuk berkumpul, berdebat sengit soal kerjaan sampai kau bisa merasakan sebuah gelembung yang bisa pecah kapan saja dan melahirkan baku hantam. Sekalipun yang terakhir itu tak terjadi, tapi kau tahu ada yang salah dengan pekerjaan mereka. Terutama karena yang berdebat sengit itu keduanya adalah pekerja biasa, kelas paling direpotkan sekaligus paling dirugikan dalam start up. Bos-bos mereka sedang tidur nyenyak sementara pekerjanya meluapkan stres setiap malam dalam aksi-aksi yang menyerupai film: bengong menatap layar laptop atau langit-langit kamar, bingung memikirkan apa sambil memilih menu makanan, mabuk sambil mengejar deadline, sampai menggelar debat argumentatif tentang pekerjaan yang berujung membentuk atmosfer ruangan seperti bar dan mereka siap kelahi kapan saja.
Hal yang nggak tertahankan dari semua itu adalah kesedihan yang mencuat dari celah-celah cangkang. Kesedihan yang merupakan akumulasi dari rasa frustrasi, kelelahan, dari luka yang nggak disadari menggoresmu tiap hari dan membusuk secara bergantian, dan pikiran bahwa nggak ada lagi hal yang bisa dilakukan buat bertahan hidup secara finansial di kota besar.
Hidup itu singkat, pekerjaan itu abadi. Pada titik ini, mengasingkan diri dari masalah-masalah dasar dalam masyarakat. Mengecek apa sebetulnya yang salah dan mengapa hidup jadi begini rentan, jadi kayak pekerjaan yang sia-sia. Satu-satunya cara tercepat menyelamatkan diri adalah memisahkan diri dari hal-hal memusingkan dan menyendiri.
Di dalam aturan main di atas, kalau dilihat dari kacamata individu, semua kelihatan baik-baik aja. Bahkan ketika aturan main itu memungkinkan munculnya destructive behavior seperti berkelahi sesama pekerja atas nama pekerjaan, politik kantor, hingga melahirkan bisnis seperti jasa menghancurkan benda-benda sebagai medium pelepas stres. Seolah sekumpulan manusia sepakat membentuk argumen spektakuler sebagai solusi: semua sah atas nama self-healing.
Iyashikei
Salah satu manga favoritku berjudul 'Yokohama Kaidashi Kikou (ヨコハマ買い出し紀行)' atau YKK, serial fiksi ilmiah yang terbit pada 1994. Sebagian ceritanya diadaptasi dalam OVA dua episode, dan baik manga maupun OVA, keduanya karya yang brilian.
pict: https://myanimelist.net
YKK berkisah tentang seorang penjaga kedai kopi di dunia pasca kehancuran besar: permukaan laut naik secara signifikan, Gunung Fuji hanya hidup dalam ingatan, dan malapetaka perubahan iklim sudah lewat. Sisanya, kau bisa baca atau tonton sendiri.
Saat pertama menikmati YKK, aku langsung ingat dengan Only Yesterday (Studio Ghibli, 1991) karena saat itu aku belum banyak menonton yang genre-nya seperti ini, dan jujur saja waktu itu aku agak kecewa. Umurku 22 atau 23 tahun, dan saat itu 2013 di mana film-film edgy kayak jamur di tempat lembab di musim hujan. Jadi waktu lihat seseorang merekomendasikan manga ini di Reddit, aku cuma membaca label 'scifi' dan segera membacanya. Aku berharap mendapat petualangan atau teknologi-teknologi cutting-edge atau apalah. Aku nggak mendapat semua itu.
Sebagai gantinya, aku cuma mendapat kisah sehari-hari yang membosankan. Seolah si mangaka hanya fokus ke setting dan nggak peduli dengan cerita. Seperti dewa yang keasyikan bikin apa yang ia sukai sampai lupa menaruh tali nasib yang merangkai laju kehidupan di dunia yang dia buat. Detail-detail disajikan tanpa filter dan menjadi tempat bagi plot buat tumbuh dan berkembang. Sehingga mengesankan bahwa setting (pemandangan sekitar, arsitekural, hewan-hewan, tumbuhan, dan sebagainya) itulah protagonisnya, dan bukan tokohnya.
Semakin membaca aku merasa semakin bosan, tetapi juga nggak bisa berhenti. Padahal aku merasa nggak meninvestasikan apapun ke tokoh-tokoh di dalamnya. Maksudku, kalau sesuatu yang buruk terjadi kepada tokoh-tokoh itu aku mungkin hanya akan berkomentar, "Duh, kasihan." atau "Wah, sayang sekali." Setelah selesai membaca, aku bingung mendefinisikan apa yang sebenearnya kurasakan. Ada perasaan sia-sia karena sudah buang-buang waktu, tapi ada perasaan lega juga. Mungkin juga merasa senang.
YKK membuka pintu eksplorasi genre ini lebih jauh. Aku kemudian mengenal genre ini sebagai Iyashikei, healing, sebuah subgenre slice of life dan biasanya menceritakan masa-masa remaja di dunia yang tenang dan harmonis dan secara sengaja didesain untuk memberi efek menyembuhkan bagi penikmatnya. Sebuah genre yang membawa setting dalam cerita ke titik sangat ekstrem, sekligus dideskripsikan secara sederhana (kau akan tahu apa yang kumaksud 'sederhana' ketika kau menikmati genre dalam format novel) sehingga mengesankan apapun yang terjadi, hidup akan dan selalu baik-baik.
Saat ini beberapa anime dan manga favoritku masuk ke dalam genre ini seperti Amanchu, Haibane Renmei, dan Aria the Animation. Aku bahkan berusaha mempelajari cara membangun atmosfer serupa untuk kuterapkan di dalam cerita-ceritaku. Pencarianku tentang genre ini, tentang bagaimana proses kreatif masyarakat yang membentuk genre ini, mengantarku pada sejarah kapitalisme di Jepang pada paruh 90-an.
Iyashikei merupakan satu dari sekian banyak produk yang lahir dari tren Iyashi, healing boom.
Tren penyembuhan massal melalui produk budaya ini menyeruak di Jepan pada dekade 90-an. Healing boom bisa dikatakan sebagai fenomena budaya konsumen terbesar menjelang pergantian abad.
Pada dekade ini, banyak perusahaan dalam beragam industri meluncurkan sejumlah besar produk serta jasa "healing". Tren ini dikonstruksi secara sosial lewat pemberitaan, diskursus, dan promosi-promosi di ruang publik. Memaksa konsumen berinteraksi dengan konten healing, dan membentuk budaya baru. Semakin besar gelombang budaya ini di tengah masyarakat, semakin beraneka-ragam produk yang diproduksi. Mulai dari tren rumah berbahan kayu, kompilasi CD easy listening, hair dryer yang menghasilkan negative-ions, hingga robot-robot berbentuk hewan yang dipromosikan sebagai 'alat penyembuhan'.
Iyasu, dalam kamus Tangorin berarti 'to heal, to cure'. Menurut kamus Kōjien edisi ke-5 tahun 1998, kata kerja Iyasu berarti 'menyembuhkan penyakit atau cedera, atau memitigasi luka emosional'. Dan pada 2003 kita bisa menemukan istilah 'Iyashi Sijō' (pasar penyembuhan) masuk dalam Gendai Yōgo no Kiso Chishiki (Ensiklopedia Kata-kata Kontemporer), istilah ini menaungi pasar barang dan jasa yang memproduksi barang-barang untuk menciptakan keamanan psikologis, dan saat ini berbagai jenis barang konsumsi seperti buku, musik, lukisan, film, pijat, minuman, makanan, dan pakaian, yang dimaksudkan untuk membantu kita bersantai masuk ke dalam kategori ini. Mungkin termasuk playlist lofi favoritku di YouTube.
Perkembangan makna dalam bahasa ini selama beberapa tahun cukup menarik perhatianku. Badan Urusan Kebudayaan Jepang (文化庁, bagian dari Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, dan Teknologi) melakukan survey pada 2002 dan hasilnya menunjukan bahwa Iyashi-kei lebih sering dipakai oleh generasi muda. Kōjien edisi ke-6, yang dirilis 10 tahun dari edisi ke-5, memasukkan kata Iyashi-kei. Kini kata 'healing' menjadi lazim digunakan di luar ruang psikologi akademis.
Iyasareru, aku sudah sembuh.
Iyasaretai, aku ingin sembuh.
Pergeseran ini kelihatannya bukan cuma perubahan linguistik, tapi bisa jadi bukti pelembagaan kognitif perkara healing, artinya secara umum healing diterima sebagai realitas objektif dalam masyarakat. Dalam kondisi ini, pemodal secara leluasa mengamplifikasi produk-produk mereka untuk 'menyembuhkan' konsumen dan konsumen mengonsumsi bukan karena ada aturan atau kewajiban atau apalah, tapi karena mengonsumsi produk healing adalah sesuatu yang kemudian dianggap lumrah terutama di kalangan pekerja dan kelas menengah perkotaan.
Pemodal dengan segala akses yang mereka miliki ke media hingga diskursus mengambil keuntungan dari isu krusial seperti kesehatan mental dan tanpa pendidikan mengenai kesehatan mental yang utuh, mereka bisa juga menjauhkan konsumen dari psikiater: ketimbang ke psikiater, lebih baik konsumsi apps A, B, C buatan kami! Dan kantor-kantor menyediakan fasilitas seperti ruang hiburan di dalam kantor bagi pekerja untuk melepas stres. Dan kalau masih kurang, kau bisa mampir ke toko sebelah buat menghantam televisi, vas bunga, atau monitor komputer secara legal!
Pada tahap ini, pekerja-pekerja yang stres akibat ketidakbecusan bos mengatur start up dadakan akan menganggap wajar aktivitas membeli dan memakai produk-produk healing.
Saat YKK pertama kali tayang, kau mungkin akan menemukan produk-produk anime dan manga yang memakai rumus 'cute girls doing cute things'. Saat ini, seiring pergeseran makna, kau juga mungkin sudah sering menemukan kata Iyashi-kei untuk mendeskripsikan aktris-aktris muda yang tampil dalam JAV, yang artinya mengamini secara tersirat pembagian kerja berdasar gender: sebagai perempuan tugasmu adalah untuk menyembuhkan laki-laki.
Alienasi dan Bisnis
Ketika membaca kata pertama di subjudul kau mungkin akan bergumam, "Alah, ini lagi? Apa nggak ada hal lain yang bisa dibahas? Nyet, sekarang bukan tahun 1844. Komune Paris udah mati 151 tahun lalu!"
Ketika membaca kata kedua, kau mungkin akan berpikir, "Nah, ini dia yang relevan!"
Kalau kau memutuskan untuk lanjut membaca tulisan ini, kau mungkin akan menemukan bahwa keduanya--surprise! surprise!--terkait.
Jika membangun hubungan interpersonal bisa sangat kuratif, mungkinkah kurangnya hubungan antar-manusia menjadi penyebab? Aku percaya itu. Individu adalah unit ekonomi dasar dari kapitalisme neoliberal. Sementara individuasi dan enterpreunership tampaknya menjanjikan kebebasan nggak terbatas buat mewujudkan American dreams versi kearifan lokal, orang-orang mendapati diri mereka semakin terisolasi satu sama lain. Ini tentu saja menawarkan keuntungan strategis bagi pemodal: pekerja yang terisolasi nggak bisa/nggak mau mengorganisir diri mereka sendiri; konsumen yang terisolasi nggak bisa menggunakan pengaruh apa pun buat mengoreksi kualitas produk yang mereka konsumsi.
Ancaman yang muncul dengan membiarkan gejala-gejala psikologis digodok oleh produsen barang dan jasa di dalam pasar adalah gejala-gejala itu akan mengarahkan perhatian orang ke luar diri sendiri, ke kondisi sosial ekonomi yang memicu depresi, kecemasan, kemarahan, dan keterasingan sebagai reaksi alami terhadap situasi yang sakit. Ternyata barang A bisa mengobatiku. Perusahaan menganggap konvergensi ini sebagai bukti bahwa diagnosis tidak terlalu penting, bahwa kondisi intrapsikis yang mendasari yang sama dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai gejala.
Tapi mungkin nggak kesimpulan yang sama ditarik jika kamu mendengarkan di luar diri untuk mencari penyebab?
Stres di tempat kerja, keterasingan dari rekan kerja, eksploitasi oleh manajemen dan pemodal; tekanan untuk bersaing sebagai pekerja dan konsumen; permintaan yang hampir universal buat secara terus-menerus menghadirkan fasad optimisme tanpa henti; harapan bahwa kamu dapat membeli jalan menuju kebahagiaan; isolasi dari orang lain dalam komunitas dan bahkan dari teman paling dekat.
Individu secara objektif teralienasi saat mereka nggak bisa mengembangkan kapasitas mereka sebagai manusia. Manusia sebagai spesies jadi kurang bermakna karena lingkungan tempat mereka tinggal nggak memungkinkan mereka buat mengembangkan kemampuan mereka tanpa ada embel-embel pengisapan. Pada titik ini, tiap pembangkangan bukan cuma buat menuntut perombakan besar model ekonomi tapi juga buat melakukan hal paling dasar: the abolition of alienation.
Pekerja hari ini makin runyam. Ketika pekerja hari ini, entah kamu bekerja di start up paling progresif atau dengan kultur kerja paling saklek, pekerja nggak benar-benar memiliki hasil kerjanya. Pekerja melakukannya buat bertahan hidup. Biar nggak dimarah bos, biar targetnya kena, biar nggak banyak revisi. Pekerja terasing dari hasil kerjanya, ditambah kultur perusahaan yang gila, diskriminasi, dan jaminan rasa aman yang selalu dinegosiasi untuk kepentingan perusahaan. Bekerja tidak lagi membawa kebahagiaan. Ia terasa seperti tugas yang berat dan meninggalkan relung kosong bahkan ketika pekerjaannya dianggap selesai.
Ketika lampu-lampu mulai remang.
Ketika alunan musik lofi bikin relaks.
Ketika alat pijat menekan-nekan otot.
Ketika sendirian di kamar.
Ketika berpesta di klub.
Ketika jerit-jerit di ruang karaoke.
Ketika berkumpul untuk mabuk-mabukan bersama teman-teman.
Selama mengamini individualisme dan budaya positif yang keliru ( yang secara terbuka dikampanyekan baik oleh negara, korporasi, maupun motivator kelas teri) pekerja akan kembali ke dalam dirinya dan berusaha mencabut pedang yang menancap selama survival mode, dan berharap selama proses itu terjadi ia tak mengeluarkan banyak darah.
Di waktu bersamaan, masa pandemi memunculkan beragam ide bisnis healing dan inovasi-inovasi yang diklaim revolusioner, game-changer, yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar debu. Sebuah layanan jasa di luar sana sedang menyiapkan bukti-bukti saintifik untuk produk yang mereka jual buat menyembuhkanmu, memaksa kita untuk mengunyah debu, lagi.
(╯◣﹏◢)╯︵ 5 Rekomendasi
Menarik. Soal “pekerja tidak memiliki hasil kerjanya”, aku malah jadi mikir jangan-jangan yang paling bener memang jadi artist aja. By law kamu minimal perlu di-credit sebagai pencipta dan namamu nempel selamanya di karya ciptanya. Meskipun reward-nya ga selalu dalam bentuk uang (lol kasihan /s) masyarakat akan mengenalmu sebagai penciptanya, dan kamu akan diketahui sebagai pihak yang bertanggung jawab atas (integritas) karya itu.