Hari ke-214 | Surut
Pagi ini, laut mengeluarkan jeroannya.
Dasar kota lama terpampang jelas. Rangka besi berkarat dan tangga beton patah mencuat bak tulang rusuk raksasa yang melindungi koloni tumbuhan air layu. Di antara kerangka itu, lapisan lumut hijau dan kerang-kerang kecil membentuk bukit karang buatan. Tanaman air di celah-celahnya masih bergoyang lembut meski air surut, akarnya menjalar seperti berpegangan pada masa lalu.
Aku berdiri di dermaga kayu terapung, menjerang air sambil menunggu Uci—ahli tanaman distrik kami—menyelesaikan pencatatan spesimen. Dengan serius, ia menyebutkan jenis-jenis tanaman dan kegunaannya bagi warga, seolah aku benar-benar peduli. Tiba-tiba ia mendekat, menaburkan bubuk kopi ekstra ke dua cangkir yang baru kuseduh. "Ini untuk para tukang di Menara Selatan. Mereka harus melek sampai pagi," katanya. "Air mungkin naik lagi besok, jadi puncak menara harus selesai malam ini."
Aku mengangguk, lalu meluncur dengan sampan buatan Om Bud dari kayu bekas peti mati. Entah klaimnya benar atau tidak, kisah itu justru memberiku kebanggaan. Sejak jadi pengantar minuman di Warung Om Bud, sampan ini selalu kugunakan. Rencananya, aku akan tetap menggunakan sampan ini bahkan jika gosip bahwa ia bisa terbang di malam hari ternyata benar.
Kabel listrik sebesar lengan timbul-tenggelam di permukaan air, membentuk gurat-gurat tembaga berkilau saat ombak menyibak selubung karetnya. Jejak sisa energi masa di mana listrik seakan-akan lahir secara cuma-cuma. Saat kabut tebal atau dingin menusuk tulang, sampanku bergerak lambat mengikuti kabel itu, kadang kusambar untuk menarik diri tanpa mendayung. Toh, ujungnya selalu mengarah ke tempat kerjaku.
Di sana, Rani, rekan kerjaku, sudah berdiri di balkon warung kopi. Kedua tangannya menarik katrol tali bendera oranye yang berkibar-kibar, menampar tiang bambu hingga bunyi klak-klak bergema di antara kerangka besi sekelilingnya. Bendera itu hanya punya satu arti: stok kopi menipis.
Hari ke-215 | Pasang Naik
Perahuku nyaris terseret ombak saat mengantar minuman ke Platform 9. Seng dan logam penyangga wilayah itu berderit diterpa angin laut. Kayu lapuk di bawahku bergoyang, setiap gerakan menciptakan riak di genangan air.
Di lantai atas, Bibi Lina—arsitek tua yang kakinya pincang akibat tertimpa beton tahun lalu—duduk di atap sambil menggambar denah kota baru. "Lihat," bisiknya, menunjuk menara logam di kejauhan, "Tempat itu cocok untuk bioskop."
"Bioskop?"
"Iya, tempat anak muda seperti kamu pacaran sambil nonton film."
Di sudut sketsanya, ada sebuah bros berbentuk kupu-kupu dengan sayap yang gompal. Tampaknya ia menggunakan bros itu sebagai acuan menggambar lampu neon di draft gedung bioskopnya. "Dulu di bioskop dekat tempat tinggalku ada lampu bentuk begini," ujarnya.
"Punya listrik saja sudah syukur, Bi. Bioskop rasanya terlalu muluk."
“Ya, pekerjaanku kan membayangkan tempat-tempat asyik buat kalian hidup nanti,” jawabnya, sembari tangannya masih menggenggam pensil, menggaris-garis kertas. Hidungnya mengendus-endus teko yang kubawa, “Aku nggak mencium bau kopi.”
“Iya, Bi,” aku nyengir, “Hari ini aku buatkan teh rumput laut. Stok kopi tinggal sedikit sekali. Prioritasnya buat para tukang yang sedang membetulkan menara. Tim Penjelajah belum pulang juga, sementara stok makanan mulai menipis."
Dari sini, Menara Selatan terlihat seperti naga patah tulang punggung. Tubuh bajanya menjuntai ke laut, perlahan tertarik pusaran air keruh. "Kalau lampu menara belum diperbaiki, Tim Penjelajah cuma akan berputar di tengah laut kayak ikan bingung," gerutu Bibi Lina. "Tapi aku nggak mau teh rumput laut. Bikin kerongkongan kering. Ada yang lain?"
Aku menggeleng, "Hanya sup teripang. Mau?"
“Itu kan bekal buat kamu berkeliling,” katanya, “Eh, tapi itu buatan si Bud, ya?”
Aku mengangguk.
Dia segera menyodorkan wadah kaleng, lalu nyengir.
Aku membagi sup teripang sambil melihat sketsa di meja, membayangkan jalur di atas kertas itu dipenuhi neon-neon seperti foto di sobekan majalah yang jadi referensi. Sambil menyeruput kaldu sup, aku bertanya tentang gambar yang sedang dia garap. Rupanya dia memang serius hendak membangun tempat untuk menonton film. Dia berjalan ke arah lemari lalu mengeluarkan dua harddisk yang terbungkus plastik. “Dulu, hal pertama yang aku cari saat air masuk ke dalam indekosku adalah harddisk-ku. Ada beberapa, tapi yang berhasil kuselamatkan hanya dua. Satu berisi koleksi film, satu lagi berisi musik. Sama-sama tidak ada gunanya,” ujarnya, tertawa keras sekali.
Bibi Lina menggeser jari-jarinya di permukaan plastik seperti mengelus kulit anaknya sendiri. "Dua benda ini dulu kubeli dengan gaji setahun," gumamnya, matanya memandang lurus ke tengah laut, seolah mencari layar untuk memutar film yang takkan pernah ditonton siapa pun.
Sebelum pamit, dia memberiku bros kupu-kupu bersayap gompal tadi. "Simpanlah. Anggap sebagai barter.”
Aku sempat menolak, lagipula sepertinya aku tidak akan membutuhkan bros atau hal dekoratif sejenisnya. Tapi, Bibi Lina memaksa.
“Kupu-kupu dulu sempat jadi lambang harapan,” ujarnya, “Kita berharap Tim Penjelajah pulang bawa stok kopi segudang."
“Ya, aku juga berharap begitu. Soalnya kalau tidak, aku terancam jadi pengangguran,” ujarku.
Sampanku menjauh dari Platform 9. Bibi Lina masih melambai-lambaikan tangan dan meneriakan sesuatu tentang kopi, aku cuma bisa menjawab dengan memberinya ibu jari. Saat memasukan tangan ke saku celana, aku menemukan kancing baju hadiah tadi. Aku tidak tahu apakah Bibi Lina lupa, tetapi 20 tahun lalu ayahku tewas karena obsesinya dengan kupu-kupu.
BERSAMBUNG