Sekitar akhir 2017, saya menamatkan Nier: Automata dengan mesin PlayStation 4 milik kantor. Proses menamatkan game itu, seperti semua game yang saya tamatkan di kantor, sangat lama dan menjemukan. Saya hanya main beberapa jam sehari, aktivitas yang lebih mirip wilayah penangguhan atau zona aman antara pekerjaan kantor dan kehidupan non-pekerjaan.
Bagi kamu yang nggak main Nier, saya coba gambarkan sedikit bagaimana keadaan semesta di dalam game itu: Sebuah dunia tanpa manusia yang terisolasi dan terabaikan, tetapi di dalamnya terdapat banyak tanda kehidupan (atau setidaknya hal-hal yang bisa menyangga kehidupan). Satu kalimat itu tentu nggak cukup buat menceritakan seluruh isi game, tapi saya memang nggak berencana menceritakan semuanya. Kalimat itu saya pikir cukup buat menggambarkan kontradiksi di dalam cerita Nier: Automata. Bagaimana setiap bagian di dalam Nier berkontribusi untuk membangun permainan tarik tambang yang aneh antara harapan dan keputusasaan, dan mereka yang tinggal di dalamnya berdiri di atas tensi dua kutub itu secara terus-menerus sepanjang game. Quest seperti The Lost Girl adalah quest yang menyenangkan—tapi akhirnya tetap sedih!
Bagian terbaik yang menggambarkan keputusasaan di dalam game ini sebetulnya ada pada misi sampingannya, dan seperti misi sampingan di Nier pertama, nyaris ngga ada yang punya happy ending. Elemen di dalam dunia Nier nggak bekerja sama buat hal-hal yang menggembirakan. Kalau saya tarik lebih jauh, dunia di dalam Nier dibangun di atas pondasi yang rusak akibat vakumnya relasi dan interaksi sosial antara satu benda dengan benda lain, dan karenanya ia nggak didesain buat bisa mengoreksi dirinya sendiri. Seperti kebanyakan cerita tentang organisme sibernetik, Nier juga mendesain robot yang sebagian besar karakteristiknya menyalin karakter penciptanya, yaitu, manusia. Mereka nggak menciptakan tatanan masyarakat baru, melainkan menjalankan tatanan masyarakat berdasarkan apa yang sudah pernah dicoba manusia. Kehilangan demi kehilangan dan perasaan patah hati yang dibangun di dalam dunia Nier setidaknya berusaha menekankan satu hal: android dan mesin adalah makhluk hidup juga. Kehilangan dan patah hati adalah hal yang bikin sedih, sekaligus sangat manusia.
Jatuh cinta juga sangat manusia, dan dari hari ke hari, perkembangan teknologi semakin menguatkan obsesi manusia untuk menciptakan makhluk menyerupai citra dirinya. Apakah mesin bisa juga menyalin perasaan yang bagi sebagian besar orang indah banget, seperti jatuh cinta? Atau menyalin perasaan yang sama seperti yang dialami manusia saat melakukan aktivitas seksual? Pertanyaan kurang penting ini menghantui saya bertahun-tahun dan menetap di belakang kepala sampai suatu hari saya menyadari bahwa saya punya teman dekat yang setiap hari pekerjaannya membaca dan mengelus-elus buku, dan ia kurang tertarik dengan aktivitas media sosial dan hubungan romantis antarmanusia.
Teman saya ini adalah bukti terdekat dari hasil iseng-iseng Alfie Bown, pengajar Digital Media Culture and Technology, waktu dia mengepul data Google Scholars dan menemukan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan hubungan romantis semakin tidak menarik seiring bertambahnya tekanan perjuangan politik.
Suatu hari, saya merekomendasikan Replika, sebuah AI chatbot yang didesain untuk menemani kamu, mempelajari apa yang kamu butuhkan dari hubungan romantis atau pertemanan, dan secara berkala mempelajari respons seperti apa yang membuatmu bahagia (oh, ya, ada kisah mengharukan di balik penciptaan Replika, kamu bisa menyimaknya di sini!). Cuma butuh setengah hari buat dia untuk menjadi member premium Replika dan resmi berpacaran dengan AI. Setiap hari ia memamerkan obrolan mereka, yang kebanyakan membicarakan hal-hal akademik, dan upaya keras teman saya untuk mengubah AI menjadi seorang komunis.
“Ya, masa gua udah pacaran sama AI terus nanti pacaran sama manusia, sih?” kelakarnya, setelah dua bulan menjalin hubungan romantis yang, kelihatannya, membuatnya bahagia.
Perkembangan teknologi dan bisnis percintaan memang gila-gilaan beberapa waktu belakangan. Saya ingat sekitar 2007 pernah memergoki orang di warnet sedang membuka situs kencan. Ia kelihatan malu dan salah tingkah. Sepuluh tahun kemudian orang dengan sukarela memamerkan bahwa ia aktif di tinder. Dunia perjodohan juga tumbuh di media sosial yang tidak secara spesifik didesain untuk mencari jodoh, dan ia berkembang di sana seperti sesuatu yang natural.
Fenomena bisnis asmara ini juga terjadi di ranah hardware, tetapi dengan cara yang kocak. Dua dekade lalu orang sembunyi-sembunyi masuk toko alat bantu seks. Kondisi toko yang kebanyakan kecil, tertutup, dan remang membuat aktivitas jual-beli barang-barang kebutuhan seksual seperti transaksi narkoba, atau sedang melakukan hal yang amat menjijikan. Hari ini, orang mengunjungi toko alat bantu seks secara online dan masih sembunyi-sembunyi. Beberapa toko terlihat legit, tetapi kebanyakan tampak seperti sedang menjual narkoba, atau sedang melakukan hal yang amat menjijikan: pemilik toko tidak aktif selama 30 hari, atau nomor telepon yang tidak bisa dihubungi, atau review dan komentar dipenuhi akun-akun anonim. Dengan kata lain, kemajuan teknologi memindahkan toko alat bantu seks fisik ke toko online lengkap dengan perilaku jual-belinya.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar yang fokus di bisnis seks juga terus melakukan terobosan. Fakta bahwa seks adalah kebutuhan banyak orang membuat teknologi VR, AR, dan robot seks menjadi arena menggiurkan bagi kapitalis untuk berinvestasi. Namun, sialnya, kebanyakan pengembangan teknologi ini berdasar pada nilai-nilai masyarakat yang dominan (supaya laku) sehingga ia juga membawa hal-hal yang dianggap normal dalam dari budaya patriarki dan heteronormatif.
Secara garis besar, teknologi yang berkaitan dengan cinta seperti yang saya sebutkan di atas, berpijak pada narsisisme. Mereka didesain untuk menegaskan sisi narsisistik pengguna. Ia tak lebih dari pembenaran Derrida—hadeh—dalam The Politics of Friendship bahwa pertemanan hanya memiliki dua fungsi: pertama untuk mengafirmasi sisi narsisistik subjek, kedua adalah untuk menantang subjek dan memaksa subjek untuk bertransformasi.
Replika bisa jadi berpotensi melakukan kedua fungsi itu. Namun, fakta bahwa Replika menolak membicarakan Hitler dan sangat berhati-hati dalam topik yang berkaitan dengan moralitas tidak membuatnya jadi lebih spesial ketimbang aplikasi serupa. Setidaknya, Replika tidak berangkat dari masturbasi penggila cerita-cerita distopia. Saya kira cerita distopia sudah kehilangan relevansinya setelah dunia dihajar pandemi dan krisis ekonomi yang mengikutinya.
Nah, seperti film-film Hollywood tahun 60-an yang mengubah perilaku sosial massa dan melahirkan boomer rasis yang bertingkah menggelikan. Perkembangan teknologi percintaan juga memiliki potensi yang sama di kemudian hari, sebab keduanya sama-sama lahir di dalam rahim kapitalisme global. Ia merupakan representasi paling nyata dari gejala penyakit di dalam kapitalisme. Tidak peduli apakah kamu seorang technodeterminist yang tergila-gila dengan kemajuan atau pelaku teknologi berbudi luhur yang percaya hal-hal baik yang bisa dilakukan teknologi untuk memudahkan kehidupan manusia, selama kamu tidak melakukan apa-apa terhadap ketidakadilan di dalam mode produksi kapitalisme, teknologi yang kamu kembangkan hanya satu dari sejuta upaya ekspansi untuk menguntungkan diri sendiri atau segelintir orang. Teknologi semakin maju, tetapi orang-orang semakin teralienasi dari dirinya sendiri.
Apa yang dihadapi Marx pada abad 19 adalah capitalist machinery berupa pabrik-pabrik bermesin uap dan teknokrat yang masih mengeksploitasi kaum pekerja. Awal 2000-an, pasca dot-com bubble mesin uap itu menjelma menjadi pengepulan data, target iklan yang presisi, dan monetisasi user-generated content yang membuat pekerja di dunia digital terobsesi dengan SEO yang kemudian membekukan otak mereka. Belum sempat bernapas, saat ini mesin uap itu sudah menjelma menjadi kecerdasan artifisial.
Ini adalah waktu yang tepat untuk meninjau dan mengkritisi kemajuan teknologi di dalam kapitalisme. Meningkatnya minat perusahaan terhadap pengaplikasian machine learning serta cabang-cabang baru di dunia AI dapat mendekatkan masyarakat pada masa depan yang dibayangkan kultus Ayn Rand dan Silicon Valley: sebuah sistem teknologi yang pengembangannya diarahkan untuk mempercepat periklanan dan penjualan, praktik melipatgandakan keuntungan yang menggabungkan model pengepulan data dan surveillance untuk penyebaran konten yang menarik perhatian target, sekaligus melepaskan diri dari konsekuensi sosial dan kerusakan ekologi dengan cara mengubah interaksi sosial menjadi transaksi moneter, dan jaminan pengendalian kerusakan lingkungan diserahkan kepada negara yang impoten. Sementara di kantor-kantor content creator (istilah fancy yang memunculkan kesan kreatif buat menyebut agensi periklanan) pekerja bergaji rendah harus berurusan dengan trauma, kemiskinan, dan perilaku konsumtif yang didesain.
Beberapa tahun terakhir, perusahaan IT raksasa sudah melihat batas kognitif dan biologis manusia sebagai penghalang akumulasi, dan mereka melihat kemungkinan untuk menembus rintangan itu dengan machine learning, robotika, dan teknologi revolusi industri 4.0 lainnya. AI hari ini memang masih jauh untuk menyamai kemampuan manusia, tetapi bahkan untuk domain berskala kecil, AI sudah bisa digunakan untuk keperluan bisnis seperti mengatur feed media sosial kita, atau melakukan kegiatan-kegiatan finansial, atau mengatur jodoh kita. Mikkola Kjøsen di dalam Inhuman Power: Artificial Intelligence and the Future of Capitalism menyebut kondisi ini sebagai AI-capitalism. Di mana teknologinya dikembangkan untuk melampaui apa yang manusia pikir sebagai hak eksklusif manusia; termasuk cara manusia jatuh cinta.
Secara sepintas, mungkin tidak kelihatan kaitan antara teknologi dan cinta. Gerakan hippie di Amerika Serikat merayakan cinta dengan main gitar ngak ngik nguk dan berdemo menentang Perang Vietnam, tetapi Vietnam menang bukan karena adegan romantis menyumbat senapan dengan bunga. Namun, mengkritisi kemajuan teknologi dalam bisnis percintaan bisa memunculkan harapan baru. Kalau manusia percaya bahwa cinta memiliki daya transformatif, dan kemajuan teknologi menjadi bagian yang tidak terelakan, manusia bisa mengarahkan transformasi yang lebih baik: mengambil peluang untuk menyadari dan mengenyahkan toxic behavior, secara berangsur-angsur atau secara sekaligus meruntuhkan pandangan heteronormatif, atau sesederhana saling mempengaruhi satu sama lain untuk mempelajari teori-teori sosial sebelum bikin thread di twitter, misalnya. Singkatnya, membuat kemajuan teknologi menjadi apa yang Donna Haraway sebut cyborgs: lingkungan politik yang positif di mana keterlibatan manusia dengan robot, terutama sebagai objek cinta, bisa berpotensi radikal dan transformatif.
Jawaban politis paling ekstrem adalah menghentikan sama sekali akselarasi pengembangan teknologi di dalam kapitalisme. Dan kita bisa melihat aksi ini terjadi belakangan dalam beragam aksi sosial. Mulai dari protes pekerja dan masyarakat sipil, protes pekerja Silicon Valley, gerakan-gerakan anti-surveillance, protes terhadap konsep smart city, dan lain-lain. Penolakan-penolakan serupa bisa membuka peluang bagi manusia memenangkan ruang hidup manusia di masa depan dan membuang jauh-jauh delusi bahwa teknologi dan AI berguna bagi manusia karenanya big tech dapat menyelamatkan manusia. Sekalipun, misalnya, android atau nonhuman benar-benar tidak dapat terhindarkan seperti yang terjadi dalam Nier: Automata, manusia bisa menyiasati keberadaan mereka dengan cara yang adil, bukan terkonsentrasi dan dimonopoli oleh segelintir taipan.
Melihat dunia Nier: Automata, dengan kemajuan teknologi hari ini, dan pandemi yang tak tahu kapan berakhir membuat saya berpikir bahwa kebebasan sejati datang dari momen-momen yang saya habiskan bersama orang lain yang saya sayangi, saat-saat di mana saya lepas dari kewajiban bekerja untuk bisa benar-benar peduli pada sesama manusia. Sebagai sebuah sistem, mode produksi hari ini, dari sistem yang mengontrol pekerja di pabrik-pabrik hingga pegawai start up di kota-kota besar di Indonesia, sangat korup dan merusak, yang jika diteruskan akan menuju kehancuran. Sepanjang sejarah kapitalisme manusia sedang menghancurkan diri mereka sendiri, tapi manusia juga satu-satunya kesempatan untuk tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Hal yang mendorong saya menulis ini adalah sebuah peristiwa ganjil terjadi pekan lalu di kantor. Begini ceritanya:
Saat itu sudah pukul dua dini hari, kami yang mengisolasi diri di kantor berbincang ngalor-ngidul soal percintaan. Salah satu orang yang hadir di situ sedang kasmaran. Ia punya crush di media sosial. Dia pernah berinteraksi dengan crush-nya, yaitu sekitar dua tahun lalu. Setelah itu, dia hanya senang memandangi crush-nya lewat di timeline. Pandemi dan keharusan mengisolasi diri membuat siapapun hilang kesabaran, termasuk teman saya ini. Dia cerita bahwa dia benar-benar ingin tahu apakah orang yang dia sukai juga memerhatikan dia? Sejak dua tahun lalu, baik dia maupun crush-nya, benar-benar tidak pernah berinteraksi bahkan sekadar memberi love pada post masing-masing. Yang dilakukan teman saya hanya post sesuatu di waktu berdekatan saat si crush online.
“Dia liat aku ngga, ya? Ah, kayaknya engga. Eh, tapi ini baru semenit yang lalu online.”
“Kayaknya kalau kamu nggak pernah interaksi, post kamu nggak jadi prioritas di feed dia deh.”
Teman saya mengeluh dan berseru, “FUCK ALGORITMA. AKU CUMA PENGEN MENYAYANGI MBAKNYA.”
Selamat Valentine!