200022 unlink the world unlock the rest and happy new year
Catetan acak tentang Mongrel, makhluk-makluk fiksional, nonhuman, dan seks
Seks di subjudul cuma click-bait. Hehe.
Tahun lalu aku akhirnya memberanikan diri buat menghadapi topik yang selama ini mengganggu: makhluk fiksional, kemajuan teknologi, dan antroposentrisme.
Saat berhadap-hadapan secara langsung, lewat teks dan beberapa video game, aku menuliskan beberapa hal yang kepikiran. Catetan-catetan kecil itu kemudian, sebagian, menjadi dasar pembuatan cerita Mongrel dan kau nggak akan tahu betapa senang aku saat menyelesaikan novel itu. Ada beberapa hal yang mengganggu di novel itu, tapi aku masih punya kesempatan buat memperbaikinya.
Hal paling mendesak selama ini, dan menjadi rintangan terbesar ketika ingin menulis cerita fiksi ilmiah, fantasi, atau horor adalah ada tendensi nggak tertahankan dalam payung genre ini buat mempolarisasi pengertian baik dan buruk. Tradisi yang melekat pada genre ini sudah dibangun sejak lama, dan nggak mengherankan polarisasi ini turut juga kasih informasi kepada semua seniman saat mereka mendesain atau menceritakan makhluk-makhluk fiksional. Makhluk-makhluk yang diciptakan sering kali dibuat buat segera merepresentasikan karakter mereka: yang jahat punya taring dan tanduk, yang baik mirip manusia atau seenggaknya mewarisi sifat-sifat manusia, dan seterusnya. Stereotipe desain makhluk itu menjadi cetak biru di dalam pikiran penulis, ilustrator, sutradara… ia jadi default, jadi jalan pintas.
Kebanyakan manusia, kita (semoga) secara sadar mencoba buat nggak berprasangka, tetapi kita memiliki beberapa kecenderungan untuk menurut makhluk hidup sebagai "kita" versus "mereka". Hal ini, di dalam mesin industri hiburan, mungkin tampak kayak keputusan artistik yang sepenuhnya masuk akal. Makhluk jahat dibuat tampak bukan manusia, ia menyeramkan, ia mewarisi sifat kebinatangan (term yang menurutku sih absurd), monster yang absolut, dan hal-hal yang segera mengingatkan kita pada sesuatu yang sanggup mengubah permen sekenyal Yupi jadi sekeras dan sejelek bekas muntahan orang mabuk di lantai. Ia punya banyak tanduk, duri, wajahnya seolah membeku secara permanen, dan ciri-ciri lain yang mungkin dianggap bukan milik manusia (kaki laba-laba, ekor kuda nil, dll.)
Ringkasnya, secara umum ada kecenderungan kuat buat mengasosiasikan yang nggak manusiawi, dan lebih luas lagi ‘yang lain’, dengan unsur kejahatan.
Makhluk-makhluk ini didesain untuk segara dikenali, secara inheren, jahat. Bukan cuma si makhluk, tapi juga nenek buyut mereka, dan anak-cucu mereka sampai tujuh turunan. Air muka mereka kerap direduksi lewat fitur wajah yang nggak lengkap, seringai yang menampilkan kekejaman, bahkan suara napas yang menebar teror. Mereka dibikin aneh, dengan selera pakaian mencolok, potongan rambut yang jadi bahan olok-olok.
Mereka didesain untuk ditakuti, dipukuli, bahkan dibunuh. Tampilan mereka memberi pembenaran kepada manusia di dalam cerita buat mikir bahwa mereka adalah target kekerasan paling paripurna.
Habis bikin Mongrel, aku sendiri kepikiran jangan-jangan aku masih juga pakai default yang begitu. Itu bikin aku mundur sedikit beberapa langkah dari desain karakter dan berusaha melihat perilaku audiens seperti apa yang dikembangkan oleh jenis desain yang begini.
Kalau penampilan fisik adalah rumus utama saat aku bikin karakter atau cerita, aku sebenarnya sedang mendorong pembacaku buat mengasosiasikan penampilan dengan sikap dan perilaku bahkan ketika aku nggak berniat demikian. Bukan cuma itu, aku juga secara aktif memberi pujian saat mereka senang melihat ‘orang jahat yang tampilannya inhuman’ dihabisi di dalam ceritaku.
Selain itu, menggunakan ciri-ciri fisik menyisakan sedikit atau malah nggak ada ruang sama sekali bagi individu dari suatu ras atau spesies untuk menjadi individu.
Ini catetan iseng aja, mungkin nanti ada yang mau menambahkan atau malah aku melanjutkan tulisan ini. Nggak tahu. Tapi, secara sepintas aku mesti bilang bahwa ada sejarah panjang rasisme dan kolonialisme di balik tradisi artistik ini. Peradaban sudah maju lima puluh tahun, dan orang-orang masih mengoceh tentang worldbuilding yang pada dasarnya rasis seperti Tolkien atau Lovecraft. Atau mereka bikin klaim , “Karyaku original aku nggak pernah membaca Lovecraft!” sementara media-media populer yang sia konsumis (tv, komik, film, kartun-kartun) banyak berutang pada tradisi Lovecraftian.
Aku inget menghela napas panjang setelah selesai nonton The Shapes of Water, bagaimana si pencipta bukan cuma meminjam desain Lovecraft tapi juga merevisi kesalahan-kesalahan Lovecraft. Seolah bilang, heh, if you want to create good fantasy, you owe it to the world to think about not only what you are saying but what your designs are saying.
Ada banyak hal yang seliweran di kepala saat menulis Mongrel. Beberapa hal yang waktu kecil dulu nggak pernah aku pikirin dan waktu remaja aku tolak terus-terusan akibat kecintaan berlebihan terhadap sesuatu. Aku inget sebelum kasih draft kasar ke Kumparan Plus aku ngobrol intens dengan orang paling deket dan aku percaya dan dia bilang: kamu itu kalo bikin apa-apa pasti bagus. Aku terharu bukan karena dipuji, tapi karena betapa besar kepercayaan dia kepadaku. Mungkin malah lebih besar dari kepercayaanku pada diriku sendiri. Habis dipuji begitu aku langsung semangat. Oke, saatnya baca lebih banyak. Saat Mongrel selesai, aku baca ulang dan aku masih sedih karena ada banyak hal yang aku lewatkan.
Tapi, aku akan menebusnya di lain waktu.
Di lain waktu, seseorang berpikiran terbuka di sudut dunia berkoar-koar: “Ya, biarinlah. Ribet amat. Namanya juga fiksi!”
Tapi, masalahnya, apa yang ngga kamu lihat belum tentu nggak dilihat orang lain. Apa yang nggak menyakitkan buatmu, belum tentu nggak menyakitkan buat orang lain terutama dalam konteks rasisme dan penjajahan yang umurnya panjang dan menghancurkan bukan cuma satu atau dua orang, tapi sebuah masyarakat. Sebuah peradaban. Ini belum termasuk utang kita pada makhluk nonmanusia yang selama ini jarang masuk hitungan.
Waktu aku ngetik ini aku baru aja berusaha berkomunikasi dengan Stabu, kucing yang tinggal bersamaku, pakai kode morse lewat kedipan mata. Kalau dipikir-pikir, sepanjang sejarahnya, manusia nggak pernah benar-benar menghabiskan waktu buat mencoba memahami bahasa spesies lain. Kebanyakan eksperimen melulu memaksa nonmanusia buat bisa berkomunikasi dengan gaya manusia: diajarin salam, diajarin tekan tombol, bahkan dipakaikan hal-hal yang manusiawi saking desperate-nya manusia kepengin memahami makhluk nonmanusia.
Kalau aja sejak era pencerahan rasa hormat jadi landasan manusia sebelum berinteraksi dengan nonmanusia, mungkin kita sudah belajar banyak sekarang. Mungkin kita sekarang sudah mempelajari minimal dasar-dasar bahasa tubuh dan menghormati ruang dan otonomi makhluk nonmanusia. Bukan malah berpura-pura ngerti dan mengarang kebudayaan hive-minded berisi makhluk-makhluk nonhuman yang membawa kegelapan dan menghidupkannya dalam film, video game, kartun, atau novel fantasi.
Komunikasi kayaknya misteri yang nggak tertangguhkan, dan kalau ini terpecahkan mungkin banyak masalah antara manusia dan nonmanusia bisa selesai juga.
Aku nggak tahu kalau kamu gimana, tapi meski aku sudah menulis beberapa buku fiksi dan sempat juga menulis nonfiksi, aku rasanya nggak berpikir dengan kata-kata. Di dalam kepalaku, semua pikiranku terasa lebih seperti awan yang jumlahnya banyak dan nggak berbentuk dan nggak terkoneksi satu sama lain dan isinya emosi dan gambar dan suara dan perasaan dan hal-hal lain yang nggak bisa aku wakili dengan bahasa yang kupahami (saat ini cuma bisa dua bahasa Indonesia dan Inggris, sedikit bahasa Sunda dan Jawa). Mereka mengambang di dimensi lain sebelum aku bisa tulis atau katakan. Mereka ada di Dimensi Kalia.
Kadang aku membayangkan akan sangat menyenangkan kalau aku bisa tahu bagaimana kamu berpikir, bagaimana Stabu berpikir, bagaimana laptopku berpikir, bagaimana virtual assistant yang sering bangunin aku tiap pagi berpikir. Mungkin kesalahpahaman bisa diminimalisir dan kehidupan di bumi akan jadi jauh lebih menarik. Mungkin bukan hari ini, mungkin 100 tahun lagi. Aku nggak tahu, tetapi ang pasti aku nggak sabar menunggu hari itu tiba (sekalipun mungkin aku udah mati saat itu beneran terwujud.)
Mudah-mudahan tahun depan aku masih hidup dan bisa lihat hal apa yang manusia bikin buat bisa memahami nonhuman. Cerita apa yang kamu bikin, puisi kayak apa yang bisa kamu tulis, teknologi seperti apa yang akan keluar, dan apakah blockchain masih hype atau malah berhasil menemukan cara terbaik buat keluar dari perdebatan yang stagnan. Aku bingung karena sejujurnya aku yakin aku adalah orang yang pesimis, tapi aku juga nggak bisa bohong kalau aku nggak sabar menunggu hal-hal itu terjadi.
Mudah-mudahan juga aku bisa bikin cerita yang lebih menyenangkan.
Terima kasih sudah membaca cerita-ceritaku. Selamat tahun baru!